SISTEM PRESIDENSIIL YANG PERLU DIEVALUASI


HUKUM TATA NEGARA
Program S.1 UB FH, Prof Isrok

Sistem presindensiil memberikan posisi presiden sebagai “pancer” dalam penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan Negara, semua orang pastilah sudah tau. Presiden adalah kepala Negara yang memimpin Negara dan sekaligus pemerintahan. Dalam sistem tersebut Presiden dalam menjalankan kewajibannya harus memegang teguh UUD dan menjalankan segala UU dan peraturannya dengan selurus-lurusnya.
Sebagai “pancer” presiden pemegang kewenangan penentu politik Negara. Penentu arah dan kebijakan bagi Negara dan bagi pemerintah. Sejak tidak ada lagi GBHN maka pikiran, konsepsi, janji yang diberikan dan diterima (sebagian besar) rakyat, berikut program kerja dan pembangunan berikut sasaran yang digariskan presiden dalam memimpin Negara dan pemerintah, menjadi panduan kerja selama masa kepemimpinannya.

Ambivalensi Politik
Lekat pada makna “pancer” dalam penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan Negara tadi, sistem presidensial juga membebankan tanggung jawab atas segala hal yang berkenaan dengan penyelenggaraan kekuasaan tersebut kepada presiden. Oleh karna itu, ketika arahan yang diberikan oleh UUD harus dijalankan dalam UU, ketika kebijakan dan program yang dikeluarkan harus dibalut dengan baju yuridis yang bernama UU, ketika tata kerja dan tata cara dalam penyelenggaraan hubungan antar lembaga Negara juga harus dilangsungkan dlam kerangka sebagaimana diatur dalam UU, semuanya menjadi aturan man yang diucapkan menjelang memulai jabatan.
Menteri dan lain-lain pejabat pemerintah yang diangkatnya adalah pembantu presiden. Sebagai pembantu, pada dasarnya mereka adalah pelaksana papa yang telah diputuskan presiden. Menteri boleh saja membuat kebijakan yang sifatnya derivate, sejauh hal itu diperlukan untuk mengoperasionalkan kebijakan yang ditetapkan presiden. Karena itu, setiap menemui persoalan yang pangkalnya bersifat pokok atau prinsip, yang berkenaan dengan kewenagan pemerintahan Negara yang merupakan domain presiden adlah wajib bagi menteri untuk minta rahan atau keputusan terlebih dahulu kepada presiden.maslah bagaimana keputusan itu diambil itu soal mekanisme.
Datangnya dpat saja dari presiden sendiri, dapat juga berasal dari usul para pembantunya. Prosesnya dapat saja dibahas dalam rapat koordinasi atau dalam siding cabinet atau rapat terbatas atau bahkan hasil rembuk dari pertemuan presiden. Namun sejauh bentang hubungan fungsi dan koridor kewenangan antara presiden dan menteri, demikianlah aturan main dalam sistem presidensial mesti dimaknai. Mengapa demikian? Adakah pergeseran makna tadi?
Ditengah kecamuk berbagai dugaan tentang sebab dan latar belakangnya, harus diakui bahwa sejak perubahan UUD yang acap dikatakan sebagai “trofi” reformasi 15 tahun yang lalu, telah pula berlangsung pergeseran makna dan praktik ketatanegaraan di sekitar sistem presidensiil tersebut, karena perubahan UUD berlangsung di lembaga politik yang berwenang dan merupakan proses politik, memang tidak mudah lagi mengelak ketika kian sering terdengar celetukan bahwa pergeseran yang berkonotasi penyimpangan sesungguhnya telah dimulai.
Dengan memanfaatkan kerentanan psikologi politik waktu itu, banyak pandangan, kepentingan dan sikat yang mencerminkan ambivalensi politik bagai mendapat tempat serta mampu member warna dalam rentetan empat perubahan UUD. Keinginan untuk menepiskan kewenangan presiden karna trauma dahulu mendorong lahirnya reformasi berubah menjadi pendulum yang malah menipiskan konsep dan bahkan operasional sistem presidensial itu sendiri. Muncul wacan tentang anomaly sistem dibungkus dengan istilah “quasi presidensiil” atau “semipresidensiil” ketika orang tidak sampai hati mengucap “sistem presidensil aroma parlementer”.
Ditengah ambivalensi momentum perubahan banyak dimanfaatkan tidak hanya untuk menipiskan kewenangan tyetapi malahan untuk menggeser kewenangan presiden justru kepada para menteri. Para politisi tahu benar langkah yang efektif adalah melalui formulasi dalam UU. Bukankah kewenangan membuat UU, setelah perubahan UUD, sebagai domain DPR? Bilamana ditengok hamper semua UU setelah reformasi dibuat atau diubah dengan meletakkan kewenangan disektor atau bidang pemerintahan tertentu kepada menteri. Disadari atau tidak, menterilah yang sejak itu berwenang berdasar UU.
Walau implikasi poltiknya begitu besar, proses penuangannya dalam RUU ketika disusun dan dibahas tak ubahnya bagai sekedar template. Ditataran UUD, presidenlah yang dikukuhkan sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan Negara. Presiden pula yang memegang kewenangan dan tanggung jawab. Menteri adalah pembantunya. Namun ditataran UU, kewenangan pemerintahan di tiap sector bidang justru didesain ditangan menteri.
Bagaimana hal ini harus dicerna dalam mekanisme yang semestinya berlangsung menurut sistem pemerintahan Negara dengan presiden merupakan “pancer”? bukankah presiden yang dalam sumpahnya (pasal 9 UUD) diwajibkan “mejalankan segala UU dan peraturannya dengan selurus-lurusnya”.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lengkap Tentang Museum Mpu Tantular

Cerpen Sihir

Cerpen Pendidikan - TUHAN JADIKAN AKU JENIUS