PANUTAN AGAMA STEPHEN HAWKING VS EINSTEIN (TERKUTUK DAN TERBEKATI) VERSI LENGKAP
Kaum agamawan umumnya suka memakai
contoh diri mahafisikawan Stephen Hawking (lahir 8 Januari 1942) sebagai
seorang ateis yang terkena kutuk Tuhan. Kata kaum agamawan, “Lihatlah,
barangsiapa ateis, dia akan terkena kutuk Tuhan, seperti diri Stephen Hawking
yang dibuat lumpuh total.”
Apa komentar saya terhadap kaum agamawan yang berpendapat demikian tentang diri
Stephen Hawking? Pertama, jika Stephen Hawking jadi lumpuh total karena dia
dikutuk Tuhan, karena dia ateis, maka betapa kejamnya Allah kaum
agamawan. Jika anda membutuhkan teologi tentang Allah yang kejam, ingatlah
bahwa teologi anda adalah juga psikologi anda yang sebenarnya: anda sendirilah
yang sebenarnya berjiwa kejam, bukan Allah manapun.
Kedua, meskipun tubuhnya lumpuh
total karena serangan berkelanjutan penyakit neurone motoris yang berhubungan
dengan penyakit sclerosis lateral amyotrofik (ALS) sejak dia berusia 21
tahun, semangat hidupnya tak mati dan pikirannya tak lumpuh. Kenyataan seperti
itu pada diri Stephen Hawking menunjukkan dia tidak dikalahkan oleh Allah kaum
agamawan yang kata mereka telah mengutuknya. Bahwa Hawking terkena sakit
semacam ini, memperlihatkan dirinya sama dengan manusia lain, bisa terkena
penyakit, bukan karena dia berdosa terhadap Tuhan apapun.
Ketiga, dalam kenyataannya Stephen Hawking, meskipun lumpuh, lebih hebat dan
lebih berprestasi dibandingkan anda yang sehat jasmaniah. Meskipun dia secara
bertahap menjadi lumpuh total, sekian buku berkualitas best seller telah
ditulisnya lewat pikirannya yang brillian. Teknologi modern telah membantu
Stephen Hawking melampaui kelumpuhannya sehingga dia bisa berbicara dan tetap
produktif menulis.
Bagaimana dengan anda kaum agamawan
yang suka melecehkannya? Saya membayangkan, kalau anda yang menjadi Stephen
Hawking, mungkin sekali anda telah lama memutuskan untuk melakukan euthanasia,
yakni memilih mati dengan disengaja sebagai pilihan terbaik ketimbang
menanggung penderitaan berat dalam jangka waktu yang panjang. Pendek kata, bagi
saya, Stephen Hawking lebih sehat dari orang sehat, lebih hidup dari orang
hidup, dan... lebih tangguh dari pahlawan perang manapun. Dan saya sangat
mengaguminya.
Jika anda sebagai agamawan suka melecehkan Stephen Hawking, cobalah periksa
diri anda sendiri, apakah anda bisa menulis buku-buku sains dengan kualitas
seperti yang telah ditulis sang mahafisikawan ini: A Brief History of Time
(1998); The Universe in A Nutshell (2001); A Brief History of Time:
From the Big Bang to Black Holes (2009); dan The Grand Design
(bersama Leonard Mlodinow, 2010)?
Tapi pastilah terlalu muluk, bak pungguk merindukan bulan, jika saya meminta
anda menulis buku-buku sejenis yang telah ditulis Hawking. OK-lah, sekarang
saya hanya menganjurkan anda untuk membaca dan memahami buku-buku sang
mahafisikawan ini. Setelah itu, sikap dan pandangan anda terhadapnya kali-kali
saja akan berubah total. Sekarang, sebagai sebuah ujian untuk anda, coba
jawab, apakah anda bisa memahami apa yang dinamakan “radiasi Hawking”, yang
ditemukan olehnya tahun 1974? Jika anda tidak tahu, baiklah saya jelaskan.
Menurut Hawking, black holes dapat memancarkan energi, kendatipun sebuah
black hole itu memiliki daya gravitasi yang sangat kuat sehingga tak ada
sesuatupun yang bisa luput dari sedotannya, bahkan juga cahaya. Pahamkah anda?
Jika tidak, ya akuilah bahwa diri anda terlalu kecil jika dihadapkan kepadanya;
jadi, jangan menghakiminya hanya karena dia lumpuh total.
Stephen Hawking yang fisiknya lumpuh ternyata juga memiliki jiwa yang
relung-relungnya dalam, yang tersentuh oleh kebesaran jagat raya dan keajaiban
semua yang ada. Kata sang mahafisikawan ini kepada anda, “Ingatlah untuk
menatap ke atas, ke bintang-bintang, dan jangan menatap ke bawah ke kaki anda.
Cobalah pahami apa yang anda lihat, dan tetaplah terpesona seperti kanak-kanak
saat anda bertanya-tanya apa yang telah membuat jagat raya ini ada.” Sedalam
itukah jiwa anda yang suka merendahkannya?
Di lain pihak, kaum agamawan suka
memanfaatkan Albert Einstein (1879-1955) yang diperlawankan dengan Stephen
Hawking oleh mereka. Kita tahu, Einstein dikenal terutama selain lewat
persamaannya E=mc2, juga lewat dua teori relativitasnya: relativitas
umum dan relativitas khusus. Teori relativitas umum menyatakan bahwa ruangwaktu
(spacetime) dibuat terceruk/terlekuk (warped) oleh objek-objek
yang masif dan bahwa gravitasi adalah hasil dari pencerukan ruangwaktu ini.
Suatu benda masif seperti sebuah planet mendistorsi ruangwaktu, alhasil
benda-benda yang terletak berdekatan ditarik oleh cerukan yang ditimbulkan oleh
distorsi ini. Teori relativitas khusus menyatakan bahwa tak ada sesuatu apapun
yang bisa bergerak melebihi kecepatan cahaya.
Untuk kepentingan mereka, kaum agamawan suka sekali mengutip sebuah pernyataan
Albert Einstein bahwa “sains tanpa agama lumpuh, dan agama tanpa sains buta”.
Sehabis mengutipnya, mereka langsung berkata, “Lihatlah Einstein itu saintis
yang saleh beragama, maka itu hidupnya lurus, sehat dan bugar, tak seperti
Stephen Hawking yang lumpuh.” Malah ada agamawan yang sangat eksentrik sampai
bisa menyatakan bahwa Einstein adalah seorang Muslim syiah yang hidupnya diberkati
Allah.
Pada sisi lain, banyak juga orang Kristen evangelikal menyatakan bahwa Einstein
adalah seorang Kristen saleh yang hidupnya diperkenan dan diberkati Yesus. Kaum
agamawan Buddhis juga mengklaim bahwa Einstein pernah menyatakan Buddhisme
non-theis adalah agama yang sejalan dengan sains modern.
Harus diakui bahwa Einstein melihat
kemungkinan Buddhisme adalah agama yang paling akomodatif terhadap sains modern
setelah sang saintis hebat ini membaca tentang Buddhisme lewat tulisan-tulisan
Schopenhauer.
Tulis Einstein, “Jika ada agama yang
dapat berhadapan dengan kebutuhan-kebutuhan saintifik modern, agama ini adalah
Buddhisme”
Juga, “Buddhisme, sebagaimana kami
telah pelajari dari tulisan-tulisan hebat Schopenhauer, berisi jauh lebih kuat
elemen-elemen perasaan keagamaan kosmik.”
Rupanya kaum agamawan berkepentingan
untuk menarik Einstein ke kubu agama mereka masing-masing dan memanfaatkannya.
Pertanyaan pentingnya adalah apakah Einstein seorang saintis yang beragama.
Kalau kita telusuri tulisan-tulisan Einstein tentang Allah dan agama, kita
harus simpulkan bahwa Einstein adalah seorang ateis, tidak percaya pada Allah
yang diberitakan agama-agama monoteistik, termasuk Allah bangsa Yahudi,
bangsanya sendiri.
Kalau Einstein memunculkan kata
“Allah” dalam tulisan-tulisannya, kata ini diberi makna metaforis olehnya,
bukan makna ontologis. Umumnya memang begitu: Kalau seorang saintis ateis
memakai kata Allah, kata ini bermakna metaforis, tak bermakna literal. Kalau
Einstein berkata-kata tentang Allah, bagi dia Allah adalah struktur kosmologis
yang sangat mempesonanya, yang diatur hukum-hukum kosmologis. Einstein dengan
tegas menolak untuk percaya pada suatu Allah personal yang diberitakan tiga
agama monoteistik, Yahudi, Kristen dan Islam.
“Tentu saja suatu dusta jika anda
membaca tentang keyakinan-keyakinan keagamaan saya, suatu kebohongan yang
dengan sistimatis diulang-ulang. Saya tidak percaya pada suatu Allah personal
dan saya tidak pernah menyangkali hal ini tetapi telah mengungkapkannya dengan
jelas. Jika ada sesuatu dalam diri saya yang dapat disebut religius, maka ini
adalah suatu kekaguman tanpa batas terhadap struktur dunia yang sejauh ini
sains dapat menyibaknya.” (Albert Einstein, The Human Side, 1954,
disunting oleh Helen Dukas dan Banesh Hoffman, Princeton University Press)
“Saya tidak pernah mengenakan pada
Alam suatu maksud dan tujuan, atau apapun yang dapat dipahami sebagai
antropomorfisme. Apa yang saya lihat dalam Alam adalah suatu struktur yang
menakjubkan, yang dapat kita pahami hanya dengan sangat tidak sempurna, dan hal
itu harus mengisi seorang pemikir dengan suatu perasaan kerendahan hati. Ini
adalah suatu perasaan religius murni yang tidak ada hubungannya dengan
mistisisme.” (Albert Einstein)
Apa yang dimaksud dengan “religius”
oleh Einstein, sangat tak terduga dalam pikiran kaum agamawan, karena sang
saintis ini menyatukan religiositas dengan nalar. Einstein menulis,
“Melalui hikmat dan pemahaman,
manusia mendapatkan pembebasan yang berjangkauan luas dari segala belenggu
pengharapan dan hasrat pribadi, dan dengan itu mereka memperoleh sikap dan
perilaku pikiran yang penuh kerendahan hati terhadap keakbaran Nalar yang
mewujud dalam kehidupan, dan yang, sedalam-dalamnya, dapat dimasuki manusia.
Sikap dan perilaku akal budi yang rendah hati inilah yang tampak bagiku
religius, dalam arti setinggi-tingginya kata ini…. Semakin jauh perkembangan
evolusi spiritual manusia, semakin pasti bagiku bahwa jalan menuju religiositas
yang murni tidak terletak pada ketakutan akan kehidupan atau ketakutan akan
kematian dan iman yang membuta, melainkan pada usaha keras untuk mendapatkan
pengetahuan rasional.”
Kalau Einstein menyatakan bahwa
“Allah tidak sedang bermain dadu”, Allah dalam pernyataannya ini adalah
hukum-hukum sains yang deterministik. Tentang determinisme saintifik, dalam
jawabannya terhadap pertanyaan seorang anak apakah Einstein sebagai seorang
saintis berdoa, Einstein menulis,
“Pengkajian saintifik didasarkan
pada ide bahwa segala sesuatu yang sedang terjadi ditentukan oleh hukum-hukum
Alam, dan dengan demikian determinisme ini juga berlaku bagi setiap tindakan
manusia. Karena itulah, seorang saintis peneliti hampir-hampir tidak bisa
percaya bahwa kejadian-kejadian dalam jagat raya ini dapat dipengaruhi oleh
sebuah doa, yakni oleh suatu permintaan yang ditujukan kepada suatu Oknum
Adikodrati.”
Lebih lanjut tentang determinisme
saintifik, Einstein menulis, “Aku tidak
dapat membayangkan suatu Allah personal yang langsung mempengaruhi
tindakan-tindakan orang per orangan, atau secara langsung duduk mengadili semua
ciptaan yang telah dibuatnya sendiri. Aku tak dapat membayangkan semua ini
kendatipun kausalitas mekanistik (/deterministik) dalam batas tertentu telah
diragukan oleh sains modern [Dalam hal ini, yang Einstein maksudkan adalah
mekanika quantum yang dipandang menolak determinisme saintifik].”
Begitu juga, kalau Einstein
menyatakan “sains tanpa agama lumpuh, dan agama tanpa sains buta” (Albert
Einstein, 1941), dia tidak sedang membela agama-agama monoteistik atau
menyamakan sains dan agama atau sebaliknya. Kalau Einstein menulis tentang
Allah/agama, baginya Allah/agama adalah daya pesona yang muncul dari struktur kosmologis
yang taat pada hukum-hukum sains, sejauh hukum-hukum ini sudah dapat dipahami.
Dalam banyak segi, Allah dalam pandangan Einstein sejalan dengan Allah dalam
pandangan Baruch de Spinoza (1632-1677), Allah sebagai hukum-hukum sains. Tulis
Einstein,
“Aku percaya pada Allah Spinoza yang
mewahyukan diri dalam harmoni dan keteraturan segala yang ada, bukan pada Allah
yang sibuk mengurusi nasib dan tindakan manusia.”
Dus, dalam dunia sains, ada dua
metafora tentang Allah, yakni Allah Baruch de Spinoza dan Allah Einstein, yakni
hukum-hukum kosmologis yang menatastrukturkan jagat raya dengan sangat
menakjubkan dan deterministik dan belum terpahami semuanya.
Kalaupun Einstein mempunyai visi
tentang suatu agama masa depan, agama ini dirumuskannya demikian:
“Agama masa depan akan berupa suatu
agama kosmik. Agama ini harus melampaui Allah personal dan menghindari dogma
dan teologi. Mencakup baik yang natural maupun yang spiritual, agama ini harus
didasarkan pada suatu perasaan keagamaan yang muncul dari pengalaman bahwa
segala sesuatu yang alamiah dan yang spiritual ada dalam suatu kesatuan yang
bermakna. Buddhisme menjawab gambaran tentang agama yang demikian. Jika ada
agama apapun yang dapat berhadapan dengan kebutuhan-kebutuhan saintifik modern,
agama ini adalah Buddhisme.”
Sekalipun Einstein berbicara tentang
hal-hal yang spiritual, sang saintis ini tidak percaya bahwa manusia memiliki
roh yang akan meninggalkan tubuh ketika manusia mati. Tulisnya,
Lagi, tulis Einstein,
“Aku tak dapat membayangkan suatu
Allah yang memberi pahala dan menghukum ciptaan-ciptaannya, atau yang memiliki
kehendak semacam itu yang kita alami dalam diri kita sendiri. Juga aku tidak
dapat atau tidak ingin membayangkan bahwa seorang manusia akan bertahan setelah
kematian tubuh jasmaniahnya; biarlah jiwa-jiwa yang ringkih, karena rasa takut
atau karena egotisme yang tak masuk akal, berharap pada pemikiran semacam itu.
Aku puas dengan misteri keabadian kehidupan, bersama dengan kesadaran dan
penglihatan sekilas atas struktur yang menakjubkan dari dunia yang sekarang
ada, bersama dengan usaha yang serius untuk memahami Nalar sebagian saja,
sekalipun sangat sedikit, yang menyatakan dirinya sendiri dalam alam.” ”
(Albert Einstein, obituary dalam New York Times, April 19, 1955)
Lagi,
“Aku tidak percaya pada keabadian
seorang manusia individual, dan aku memandang etika sepenuhnya adalah perkara
manusia tanpa ditopang oleh suatu otoritas adiinsani di baliknya.”
Jelaslah, etika atau moralitas yang
diperlukan manusia untuk mengatur masyarakat, bagi Einstein, bukanlah moralitas
yang bersumber pada agama, melainkan, tulisnya,
“Perilaku moral manusia harus
dilandaskan secara efektif pada simpati, pendidikan, dan kebutuhan-kebutuhan
serta ikatan-ikatan sosial; untuk moralitas, basis keagamaan tidak diperlukan.
Sesungguhnya betapa malangnya manusia jika tindakan-tindakan moralnya
dikendalikan oleh ketakutan akan penghukuman dan pengharapan akan mendapatkan
pahala setelah kematian.” (Albert Einstein, “Religion and Science” dalam New
York Time Magazine, November 9, 1930)
Juga tulis Einstein,
“Fondasi moralitas haruslah tidak
dibuat bergantung pada mitos atau diikatkan pada otoritas apapun supaya
keraguan atas mitos itu atau keraguan akan legitimasi otoritas itu tidak
membahayakan fondasi yang berupa pertimbangan dan tindakan yang matang.”
Dan lagi,
“Tidak ada yang ilahi pada
moralitas; melainkan moralitas itu sepenuhnya adalah urusan manusia.”
Jadi, hai kaum agamawan, janganlah
kalian, ringkas kata, mengagamakan Einstein atau berusaha menariknya ke kubu
kalian. Let Einstein be Einstein. Let science be science.
Kalau anda mau menunjukkan bahwa agama anda sejalan dengan sains modern,
caranya bukan dengan merangkul atau membajak saintis-saintis besar seperti
Einstein ke dalam kubu agama anda, sebab sains itu tidak berafiliasi dengan
agama apapun. Apapun agama seseorang, jika orang ini memakai metode-metode
saintifik yang sama dalam menyelidiki suatu fenomena empiris, hasil-hasilnya
akan selalu sama. Yang seharusnya anda lakukan adalah: pelajari sains dengan
mendalam, lalu pahami dengan objektif, dan temukan dengan jujur apakah agama
anda sejalan dengan sains atau malah berbenturan.
Bagaimanapun juga, jika anda mau beragama dengan cerdas, anda tidak bisa lagi
menutup mata anda terhadap sains modern yang terus berkembang dan makin maju,
dan anda perlu merumuskan kembali agama anda dengan memakai sains modern
sebagai paramaternya. Enam dasawarsa setelah Einstein, sehubungan dengan
Buddhisme sosok agung Dalai Lama menyatakan bahwa jika Buddhisme kedapatan tak
sejalan lagi dengan sains modern, Buddhisme harus segera disusun ulang. Adakah
sosok agung dalam agama anda sendiri yang telah atau akan menyatakan hal yang
sama sehubungan dengan agama anda sendiri? Jika ada, bergabunglah dengannya.
Jika tidak ada, andalah yang perlu ambil inisiatif untuk melaksanakannya.
Komentar
Posting Komentar