Cerpen Pendidikan Terbaik



Yogyakarta 13 September 2008
“Eh Tia kok sendirian aja?“ Sapaku.
“Iya nih, biasa lagi buat penelitian. Gak penting banget gila!” Jelasnya
“Lo gak boleh gitu lah, itu kan syarat kelulusan juga. Gue temenin ya?”
“Yaahh.. Jangan cuma nemenin, bantuin lahh! Hahaha.”
“Ah dasar! Eh sebentar ya, gue mau pesen makanan dulu.”
“Oke deh.”
Old but Gold
Perutku terasa lapar setelah seharian berada di Kampus yang membosankan ini. Setiap hari ada saja tugas-tugas yang menyebalkan yang diberikan oleh para dosen disini.
“Bu, beli nasi kucing dong. Nasinya dua, gorengannya bakwan aja, ususnya satu, sama ati ampelanya satu ya Bu.”
“Apa lagi Mas?”
“Cukup itu saja Bu.”
Dompetku pun tak mendukung aku memborong angkringan murah yang ada di Kantin Kampusku. Lalu aku kembali menghampiri Tia yang semakin terlihat kacau di depan Laptop.
“Lama banget sih de. Kemana aja sih lo?” Tanya Tia sedikit kesal.
“Beli Nasi Kucing hehehe.” Jawabku malu.
“Bungkus aja itu, ikut gue yuk!” Ajak Tia secara tiba-tiba.
“Tapi kan…”
“Udahhh cepet gak usah pake lama deh.” Paksa Tia sembari menarik tanganku yang baru saja ingin memulai suapan pertama.
Tia menarikku sampi ke lapangan parkir di belakang Kampusku. Kemudian, Tia menaiki sebuah mobil sport mewah yang berada tepat di samping motor bututku. Kalau saja sebelumnya aku tahu itu adalah mobilnya, aku pasti tidak akan memarkir motorku tepat di sebelah mobilnya. Malu aku, mobilnya begitu mewah dan berbanding terbalik sekali dengan motorku yang belum sempat aku cuci selama 1 bulan. Tiba-tiba Tia mengajakku untuk menaiki mobilnya.
“De, cepet naik!” Ajak Tia
“Tapi ini kan motor gue Ti.” Jelasku.
“Ya udah tinggalin aja dulu, panas tau naik motor.”
Matahari memang sangat terik. Dengan sedikit rasa berat hati, aku pun menerima ajakkan Tia. Baru kali pertama aku diajak pergi ke suatu tempat oleh teman perempuan secantik Tia. Entah kemana aku akan dibawa pergi olehnya, aku hanya duduk manis di sebelahnya dan menikmati indahnya perjalanan.
Kami pun tiba di sebuah Restaurant ternama di sekitar Malioboro. Ternyata Tia ingin mengajakku makan siang. Kenapa tidak makan siang di Kantin Kampus saja? Tanya batinku heran. Baru saja kami turun dari mobil, seorang waiter menghampiri kami berdua dan mengantarkan kami ke tempat duduk yang sudah dipesan sebelumnya. Aku pun bertanya-Tanya.
“Loh kok kita duduk di sini sih Ti? Bukannya ini udah dipesan sama orang lain?” Tanyaku dengan penasaran.
“Gue juga gak tau de, waiter nya kan yang nyuruh kita duduk di sini?”
“Beneran?”
Apakah benar Tia tidak memesan tempat ini? Lalu siapa? Tapi, apa tujuannya kalau memang dia yang benar memesan tempat ini. Aku menatap matanya, aku sedikit curiga. Aku tahu dia tidak bisa berbohong, tak pernah perbohong malah. Sudahlah, hal seperti ini tidak begitu penting. Lagipula dia hanya mengajakku makan siang.
Aku kembali melihat daftar menu makanan. Aku baru tersadar ketika melihat daftar harganya, uangku tak cukup. Aku bingung setengah mati.
“Tia, gue…”
“Kenapa lo?”
“Ituu.. anuuu..” Kataku gugup.
“Apaan sih? Yang jelas ngapa?”
“Uang gue gak cukup Ti buat makan.” Jelasku.
“Elahhh kirain apa. Gak usah dipikirin, pake uang gue dulu aja.”
“Gak enak gue sama lo, gue pulang aja apa?”
“Lah lo gak ngehargain gue dong?”
“Tapi…”
“Tapi, tapi, tapi terus dari tadi! Capek gue dengernya.”
“Hahahaha.” Balasku dengan tawa.
Lalu kami kembali melihat daftar menu makanan. “Aku udik sekali” Pikirku. Tidak ada satu pun menu yang aku kenal di dalam daftar ini. Nasi dan air putih, itu saja yang aku kenal. Aku pun diam, berpikir sejenak. Tiba-tiba Tia menegurku.
“Kok diem aja? Lo mau pesen apa?” Tanya Tia.
“Sama kaya lo aja deh Ti.” Jawabku dengan tegas.
“Mas, saya pesan paket ini ya untuk 2 porsi.” Ucap Tia sembari menunjukkan menu makanan yang kami pesan.
“Ada lagi Mbak?” Tanya seorang waiter.
“Sudah cukup itu saja.”
I’m Sorry for Being Like This
Setelah menunggu cukup lama, makanan yang kami pesan akhirnya datang. Akan tetapi, hatiku dipenuhi oleh rasa bimbang antar menikmati makanan yang lezat dan perasaan malu yang tinggi karena uang tidak mencukupi untuk memesan satu menu pun di Restaurant ini.
Tidak ada sepatah dua kata pun keluar dari mulut kami berdua. Aku bingung ingin memulai pembicaraan seperti apa. “Kalau nanti salah ngomong, kan gak lucu.” Ucapku lirih. Sepertinya Tia mendengar perkataanku, ia langsung bertanya.
“Hah kenapa? Lo ngomong apa barusan?” Tanya Tia.
“Enggg.. enggak kok.” Balasku gugup.
Dan kami pun kembali diam. Suasa makan siang kali ini begitu flat. Di dalam diriku penuh perasaan gugup, entah mengapa demikian. Tak pernah aku rasakan hal ini sebelumnya. “Aneh sekali, apakah makanannya terlalu enak atau memang sedang lapar?” Pikirku.
“PYAAARRR!”
Seorang waiter paruh baya dengan tidak disengaja menjatuhkan secangkir kopi panas tepat di atas meja kami. Hampir pecahan cangkirnya mengenai wajah Tia.
“Eh Mas, hati-hati dong! Bahaya ini pecahannya bisa masuk mata.” Geramku kesal.
“Iyy.. Iyy.. Iya Mas maaf, semuanya akan kami ganti.” Balas seorang waiter paruh baya itu dengan wajah pucat.
“Udah gak usah Mas, kita juga udah selesai makan kok. Udah De, gue juga baik-baik aja kok.” Tia mencoba Manahan amarahku.
“Bener lo gak kenapa-kenapa?” Tanyaku cemas.
“Iya. Lo kenapa sih nanyanya segitunya banget? Santai aja kali. Hahaha” Balas Tia sedikit bergurau dengan maksud menenangkanku.
“Nanti gue yang disalahin sama keluarga lo, Ti. Ya udah lanjut makan yuk.” Ujarku sedikit mengalihkan pembicaraan.
Kami pun lagi-lagi kembali diam. Aku melihat Tia, dia tidak begitu serius makan akan tetapi herannya kenapa tidak ada pembicaraan di antara kami. Aku menatap Tia, Tia pun kembali menatapku. Lalu aku kembali makan, Tia pun demikian. Terus seperti itu sampai suapan terakhir habis. Aku kembali menatap Tia.
“Kenapa?” Tanya Tia.
“Gak kok.” Balasku dengan senyum, Tia juga membalas senyumanku.
“Kalau melihatnya sedekat ini, Tia manis juga ya.” Tiba-tiba terbesit kalimat seperti itu di dalam benakku. Aku sedikit tersenyum. Lalu Tia membalas lagi senyumanku, padahal aku tidak punya maksud untuk senyum kepadanya. “Tak apa lah kalau yang senyum semanis dia.” Ucapku dalam hati. Dan aku beranikan diriku untuk memulai pembicaraan kali ini.
“Ayuk Ti kita pulang. Tugas lo belum selesai kan?”
“Sebentar lagi aja. kalau pulang sekarang gue di rumah sendiri kan orangtua gue lagi pada kerja, mereka juga pulangnya malem banget, gue bete sendirian lama-lama di rumah, De.” Terus terang Tia.
Detik demi detik kami lewati dengan saling berbicara tanpa henti. Tidak terasa ketika aku melihat jam tanganku waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore.
“Udah jam 5 sore Ti.”
“Ya udah kita pulang yuk. Eh sebentar De.”
“Ada apa?”
“Sebentar.”
Tia menahanku untuk pulang, ia terlihat sibuk sekali membuka-buka tas bawaannya. Lalu Tia mengeluarkan sesuatu yang terbungkus rapih dengan kertas kado bergambar tokoh kartun Doraemon kesukaanku dari dalam tasnya.
“Itu buat siapa? Emak gue? Hahaha.” Tanyaku sambil bergurau.
“Buat lo lah.” Jawabnya singkat, padat, tetapi tidak terlalu jelas maknanya yang dapat aku saring.
“Buat gue? Gue gak ulang tahun kok Ti” Jelasku polos.
Sebenarnya ada apa dia tiba-tiba Tia mengasihku hadiah? Apakah kado ulang tahun yang terlambat? Aku memang sejak duduk di bangku sekolah menengah atas sudah dekat dengannya, tapi dari dulu memang Tia tidak pernah memberiku hadiah. Mengapa sekarang demikian?
“Gue suka sama lo De semenjak lulus-lulusan SMA.” Jelas Tia.
“Hah?” Aku hanya bisa terdiam.
Kami saling menatap satu sama lain. Aku tidak mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi.
“Tia, lo temen gue.” Jelasku jujur.
Itulah kata-kata yang terbesit cepat di pikiranku, tanpa pikir panjang aku langsung mengeluarkan kata-kata itu.
“Jadi intinya lo gak mau De?” Tanya Tia, wajahnya penuh dengan kekecewaan.
“Ti?”
Dia hanya menunduk ketika aku panggil. Aku panggil lagi, tetapi dia masih menunduk dan tak mau menjawab. Lalu aku mencoba mengangkat dahinya dan ku pegang lembut jemari tangannya.
“Dengerin penjelasan gue dulu.”
“Apa lagi? Jadi selama ini lo gak ngertiin maksud gue?” Tanya Tia.
Bibirnya bergetar ketika berbicara, matanya berlinang. Aku tak sanggup melihat seorang wanita mengangis di hadapanku. Semua ini salahku.
“Tia, dengerin gue dulu makanya. Bukan gitu maksud gue. Gue mau ngebahagiain orang tua gue dulu Ti.” Jelasku.
Tia tidak membalas perkataanku, dia hanya diam dan mulai menangis. Aku pun mencoba menenangkannya.
“Jangan nangis Ti.”
“Gak usah deket-deket gue De!” Kesal Tia
“Ti, gue juga punya rasa yang sama kaya lo. Tapi gue gak bisa fokus ke situ, gue mau ngebahagiain keluarga gue dulu.” Jelasku.
“Tapi gue punya harapan lebih buat kita berdua De.” Pinta Tia dengan penuh harapan.
Lalu aku balas dengan senyuman. Dan mencoba membuatnya tersenyum kembali.
“Senyum dong Ti.”
“Gak bisa De.”
“Hmm.. Lo belom pernah ke Paris kan?”
“Belom, tapi gue bisa kok sama keluarga gue tinggal di sana.” Jawab Tia.
“Gue janji Ti sama lo. Gue bakal bawa lo ke sana. Gue bakal tinggal sama lo di sana. Kita sama-sama ke sana buat ngerubah negeri ini.”
Kami pun terdiam lagi, kami pun saling menatap lagi. Tatapan matanya begitu indah, memancarkan kepercayaan yang mendalam. Lalu senyuman yang ada di wajahnya kembali terlihat.
Andai Saja Orang Itu tak Dilahirkan
“Krik.. Krik.. Krik..”
Suara jangkrik peliharaanku terdengar sahut-sahutan menertai dinginnya malam. Hembusan angin terasa begitu menusuk sampai ke tulang. Jam dinding di kamar tidurku terus memutar jarumnya. Lebih kurangnya tujuh hari sudah aku lewati tanpa satu pun sms yang ku terima dari Tia.
Lalu aku kembali memfokuskan pikirannya pada sebuah artikel yang sedang ku tulis untuk dikirim ke salah satu media cetak yang cukup terkenal di Yogya. Sulit sekali memang mengalami keadaan seperti ini. Aku sungguh merasa bersalah kepada Tia tentang kejadian minggu lalu.
“Toktoktok..”
Suara ketukan terdengar dari pintu rumahku di tengah sunyinya malam. Aku mengintip dari jendela kamar tidurku, ternyata itu adalah A’a yang baru saja pulang dari kesibukannya.
“Assalamu’alaykum, Mak. A’a bawa uang lagi nih buat Emak.”
“Wa’alaykumusslam. Alhamdulillah ya, Emak bangga banget punya anak kaya kamu.”
Seperti biasa, kalimat seperti itu lah yang berulang-ulang kali terucap dari mulut Emak untuk menyambut kedatangan A’a. Ironisnya, sangat berbeda ucapan Emak ketika menyambut kedatanganku.
“Uang dari mana lagi tuh Bang?” Tanyaku.
“Yang jelas bukan uang hasil nyolong De.” Ketus sekali jawaban dari A’a
“Ohh.. Berarti abis ngepet atau gak hasil j*di ya Bang?”
“BRAAKKK!!” A’a memukul meja makan sampai semua makanan yang ada di meja
“Kurang ajar lo ya! Yang penting gue dapet uang, daripada lo belajar terus. Lo tuh Cuma nambahin beban Emak lo doang! Lo tau kan Bapak udah gak ada? Uang ini juga buat sekolah De!” Bentak A’a begitu kesal.
“Gue cuma nanya itu uang dari mana?”
“Sudah cukup! Kalian berdua tau sekarang udah jam berapa? Kalian berdua mau mambangunkan warga satu kampung? Cepat pergi tidur!” Ujar Emak begitu kesal melihat tingkah laku kami.
Kemarahan Emak menggiringku untuk pergi ke kamar tidurku. Masa bodoh dengan saudara kandungku, semakin hari aku semakin membenci dengan keberadaannya di rumah ini.
Malam terus berganti pagi. Begitu juga hari yang terus berganti bulan. Selalu saja terdengar ocehan dari mulut Emak dan A’a membicarakan hal yang sama. Aku sudah bosan dengan keadaan seperti ini. Di samping itu, skripsi S-1 yang sedang aku buat tak kunjung selesai. Dan itu membuatku semakin bosan dengan kehidupan yang sedang aku jalani.
Hari demi hari ku jalani, aku merasa terbebani sekali dengan tugas skripsi ini. Aku mencoba untuk menghubungi Tia, akan tetapi hasilnya nihil. Biasanya aku dan Tia selalu mengerjakan tugas-tugas kuliah bersama, semenjak kejadian itu semuanya berubah.
“Kring.. Kring..”
Beberapa jam kemudian terdengar suara ringtone dari handphoneku yang aku letakkan di atas tempat tidurku. Aku terdiam sejenak ketika melihat layar handphoneku, Tia mengirimku sebuah sms.
“Semangat ya De, gue tau lo pasti bisa kok! Semangat! Puncak Menara Eiffel udah nungguin kita lho.. hehe”
Semangatku yang sudah habis terasa pulih kembali. Aku ingin sekali membalasnya, tapi aku bingung kalimat apa yang cocok untuk membalasnya. Dan aku kembali melanjutkan skripsiku. “Alhamdulillah Tia baik-baik saja, terima kasih ya Allah.” Ucapku lirih.
Waktu terus berlalu, skripsiku akhirnya selesai. Berita bagusnya lagi, Dosenku tidak menyuruhku untuk merevisi sedikitpun. Aku tinggal mempersiapkan diriku untuk sidang saja.
Perasaan senang ini tak lupa aku beritahu kepada Emak, aku sudah tidak sabar melihat ekspresi wajah Emak ketika mendengar bahwa aku akan segera lulus dan menjadi seorang sarjana.
“Maaakkk.. Ade sebentar lagi lulus Mak!” Ujarku kegirangan.
“Iya? Wahh hebat.. Abis itu cepet-cepet nyari kerja ya De.” Jawab Emak.
“Kok jawabannya gitu doang Mak?”
“Emang mau gimana lagi?”
“Emak gak seneng ya Ade pengen lulus?” Tanyaku sedikit kesal.
“Seneng kok, tapi Emak lebih seneng kalau Ade udah sukses kaya A’a.” Jawab Emak dengan tegas, perkataannya begitu mengiris perasaanku.
“A’a terus yang Emak bela. Emak Ade gak butuh dibela sama Emak? Anak emak tuh ada dua, A’a sama Ade bukan cuma A’a doang Mak!!” Bentakku.
“Anak durhaka kamu ya ngebentak orangtua sendiri. Durhaka kamu!”
“Ya abis Emak pilih kasih, suka ngebedain A’a sama Ade. Ade pengen disayang sama Emak lagi kaya dulu, kaya waktu Ade masih SD, SMP. Gak kaya gini Mak.” Ucapku sambil menatap mata Emak, Emak hanya terdiam.
“Assalamuualaykum Mak…” Salam A’a yang baru saja pulang
“Tuh anak Emak satu-satunya baru pulang!”
Aku pun langsung meninggalkan ruang keluarga. Ternyata benar dugaanku. Emak pasti tidak akan peduli. Anak macam apa aku ini? Orangtuaku sendiri saja tidak memberiku dukungan.
Wisuda yang Menyedihkan
Wajah-wajah bahagia dari para mahasiswa dan mahasiswi di Kampus ini sangat terlihat ketika aku mulai melangkahkan kakiku dari depan pintu masuk Aula Utama Kampus. Para Photographer juga nampaknya sudah siap untuk mendokumentasi momen-momen kebahagiaan yang akan terjadi pada hari yang akan menjadi hari bersejarah bagi semua pelajar yang ada di Kampus ini.
Tahun ini memang mengejutkan, dari semua fakultas yang ada tidak ada satu pun mahasiswa maupun mahasiswi yang tidak lulus. Aku melihat sekeliling, entah apa yang aku lihat. Tiba-tiba seorang menepuk bahuku dari belakang.
“Sendirian aja De?”
“Ehhh.. Elooo!” Balasku kaget.
Dia adalah Romi, aku berteman dengannya sejak aku masih duduk di bangku SMP tetapi SMA kami berbeda. Karena kami berbeda fakultas dan kepentingan, kami jadi jarang bertemu.
“Gue duluan ya De. Udah ditunggu sama orangtua gue di sana.” Ujar Romi
“Kok lo buru-buru banget? Nanti aja lahh, bilang ke orangtua lo haha”
“Yahh biasa orangtua gue kan gak suka nunggu lama-lama De.” Jelas Romi.
“Oke deh, salam buat orangtua lo ya.”
Di saat semua orang di sini sibuk dengan orangtuanya masing-masing, aku hanya bisa terdiam sendiri. Emak lebih memilih menunggu kepulangan A’a di rumah daripada menghadiri wisudaku ini. Sedih sekali. Ingin sekali aku menangis. “Kenapa sih Mak?” Ucapku dalam hati sambil menghela nafas.
Dukungan yang Sangat Berarti
Setelah lulus dan mendapatkan pekerjaan di salah satu perusahaan swasta, aku pun tak lupa dengan cita-citaku yaitu melanjutkan sekolah ke Paris bersama Tia. Hubungan kami berdua mulai membaik seperti dulu lagi, bisa dibilang lebih dari baik dari sebelumnya.
“Gimana Ti kita jadi kan ke Paris? Haha.” Tanyaku bergurau.
“Kok ketawa? Jadi lo gak mau serius?”
“Gue bercanda Ti. Hahaha”
“Iya gue juga bercanda kok. Hehehe. Jadi dong kan kita….”
“Kita apa?” Tanyaku penasaran.
“Menurut lo?” Tia balik menanyaku.
“Iya kita bakal tinggal bareng kok Ti.” Jawabku sambil tersenyum.
“Yeee gombal banget!”
“Jadi gak ke rumah gue Ti?” Tanyaku.
“Ya udah ayuk.”
Aku membawa Tia ke rumahku, aku ingin sekali memperkenalkan Tia kepada Emak. Selama di perjalanan kami mengobrol banyak, bersenda-gurau yang jelas tak seperti kami dulu yang hanya berdiam saja tanpa suara.
Ekspresi wajah Tia terlihat begitu senang ketika sampai di halaman depan rumahku. Emak pun dari kejauhan terlihat senang, entah mengapa Emak begitu menyambut kedatangaku kali ini.
“Mak, ini Tia. Temen Ade. Tia, ini Emak gue.” Ucapku.
“Cantik banget kamu nak, pacarnya Ade ya?” Tanya Emak.
“Bukan Mak, tapi calon istri.” Sambarku sambil tertawa.
“Heeehhh!” Sambar Tia.
Setelah lama berbincang dengan Emak, Tia kembali ke rumah. Aku hanya bisa mengantarnya sampai halaman depan.
“Ti, hati-hati ya. Gue belom bisa nganterin lo sampe ke rumah.” Ucapku.
“Iya De gue pulang ya. Iya gak papa, lagipula gue kan bawa mobil De.”
“Ya udah sebentar lagi gue bisa kok. Hahaha” Ujarku.
“Gue tau lo bisa, buat orangtua lo percaya dulu ya kalau kita beneran mau ke Paris.”
“Gue janji sama lo Ti.” Ucapku.
Begitu senangnya hatiku walaupun Emak memang benar-benar tidak mau mendukungku tapi aku masih punya seseorang yang selalu ada di sampingku di kala suka dan duka.
Menara Eiffel tanpa Puncak
Minggu pagi yang begitu indah, dedaunan yang berjatuhan tertiup angin pagi yang cukup kencang tapi menyejukkan. Bunga-bunga yang bermekaran di halaman rumahku begitu indah. Suara gemericik air di kolam dan suara kicau burung melengkapi suasana pagi yang sempurna.
Sembari membaca surat kabar dengan berita yang masih hangat secangkir kopi susu panas ikut mendampingiku duduk di teras rumah. Mataku terpana pada berita Internasional yang sedang menceritakan bahwa ekonomi di Prancis sedang stabil. Aku pun semakin bersemangat untuk benar-benar meneruskan studiku ke Paris.
Halaman demi halaman terus kubuka. Pandanganku terhenti, aku sempat terdiam. Berita kecelakaan yang memakan korban perempuan, dan ciri-ciri mobilnya sama persis dengan mobil yang Tia kendarai. Aku langsung menghubungi Tia, nomornya tidak dapat dihubungi dan aku menjadi tambah panik. Aku langsung menuju rumahnya, selama di perjalanan aku terus mencoba menghubunginya, tetapi tetap tidak bisa.
Aku melihat banyak orang ketika sampai di depan rumahnya, aku masuk perlahan ke dalam rumahnya. Mataku sudah berkaca-kaca. Aku sudak tidak tahu ingin melakukan apa lagi. Dengan lesu lalu aku memasuki pintu rumahnya.
“Ade!” Suara seperti Tia memanggilku dari belakang.
“Loh Tia? Lo kok?” Tanyaku heran.
“Kenapa? Kok lo mau ke sini gak bilang-bilang dulu? Sekarang banyak saudara gue datang mau pada silahturahmi.”
Aku pun diam, antara perasaan heran dan senang bercampur jadi satu, ternyata Tia baik-baik saja.
“Kok diem De? Main aja yuk ke luar.” Ajak Tia
“Tia gue gak mau kehilangan lo.” Ujarku
“Lo kenapa De?”
“Ya pokoknya lo jangan kemana-mana. Lo sama gue aja.”
“Lo kenapa sih?”
“Gue sayang sama lo.” Ucapku sambil memeluknya, Tia tak merespon apa-apa. Mungkin ia bingung.
Aku sengaja tidak mau menceritakan hal ini padanya, aku tahu pasti dia akan merasa tidak risih. Aku memilih untuk menyimpan ucapanku ini.
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba, aku dan Tia bertunangan. Dan kemungkinan bulan depan kita akan melaksanakan pernikahan. Alangkah senangnya. Cita-citaku yang pertama akhirnya terwujud, dan sekarang proses masih berjalan untuk sampai ke Paris, Prancis.
Belakangan ini, pekerjaan kami berdua sangat sibuk sehingga memaksa kami tidak bertemu dan jalan sekali berkomunikasi. Aku pun tak mau banyak mengeluh, ini lah memang tantangannya ketika kami berbeda karir.
“De, Tia kecelakaan sekarang dia masuk rumah sakit.”
Ucapan yang mengagetkan tiba-tiba keluar dari mulut rekan kerjaku yang juga merupakan saudara dari Tia. Sesuatu yang sedang aku pikirkan untuk pekerjaan seketika berhamburan. Aku pun langsung bergegas pergi ke rumah sakit. Aku berharap tidak terjadi apa-apa dengannya.
Aku berlari sekencang mungkin menuju Ruang UGD. Aku langsung menghampiri Tia yang sedang berbaring lemas. Aku mendengar secara jelas Tia terus memanggil-manggil namaku dengan suara pelan. Aku tak kuat menahan tangis melihat kondisinya. Aku ajak ia berbicara tapi ia hanya mengeluarkan air mata. Sepertinya ia ingin mengatakan sesuatu tapi tak sanggup berbicara.
“Tia ngomong Ti.. Ngomong.. Kamu kenapa bisa kaya gini?” Tanyaku sambil sedikit menangis.
Tia tak sanggup berbicara, ia hanya membalas genggaman tanganku dan lagi ia mengeluarkan air matanya. Lalu aku bergegas memanggil Dokter.
“Dok, bisa dipindahkan ke ruang yang lain?”
“Ya, baru saja kami ingin pindahkan ke ruang ICU.” Kata Dokter.
Tia dengan cepat dipindahkan ke ruang ICU. Aku hanya bisa berdoa kepada Allah semoga ia diberikan kesembuhan kembali.
Seharian aku menunggu di luar ruangan, akhirnya dokter memperbolehkanku masuk.
“Tia? Kamu gak papa? Kamu bakalan sembuh kan?”
“Iya De, aku gak papa. Gak usah khawatir, sebentar lagi aku udah bisa lari lagi kok De.” Jelas Tia sambil tersenyum.
“Aku khawatir banget lah, kamu kan sekarang udah jadi tunangan aku. Kamu juga udah jadi tanggung jawab aku Ti.” Ucapku.
“Udah kamu lanjutuin pekerjaan kamu aja, aku malah ganggu pekerjaan kamu kalau kamu di sini terus.”
“Aku gak mau ninggalin kamu sendirian.”
“Aku gak sendirian, aku ada kamu walaupun kamu jauh.” Ujar Tia, bermaksud menenangkanku.
“Diem, aku bakal di sini terus.” Ucapku dengan tegas.
Lalu aku pergi keluar ruangan sebentar untuk membeli makanan, aku memborong makanan-makanan kesukaan Tia. Aku juga membelikannya setangkai bunga.
Ketika aku kembali, aku melihat beberapa tim dokter berlarian menuju ruangan dimana Tia dirawat. Seketika aku menghentikan langkahku. Tanpa sadar aku menjatuhkan sekantung makanan yang telah aku beli untuk Tia. Aku menghela nafas sejenak dan berharap sesuatu yang buruk tidak terjadi padanya. Aku ikut berlari sembari membawa setangkai bunga untuknya yang sengaja aku beli demi melihatnya tersenyum dan melupakan rasa sakit yang sedang dialami olehnya. Jantungku berdetak kencang, begitu kencang. Lalu aku memasuki ruangannya.
“Cepat panggil Dokter!” Teriak seorang suster.
“Suster, Tia kenapa?” Aku panik.
“Cepat panggil dokter!” Suster tersebut menyuruh suster yang lainnya tetapi ia menghiraukan perkataanku.
“Tia kamu kenapa? Jawab Ti.. Jawab…” Ucapku.
Tetapi Tia tak mau menjawab, nafasnya masih terdengar tetapi matanya tertutup. Aku terus menggilnya tiada henti. Aku menyuruhnya untuk bangun, tetapi ia tetap tak merespon sedikit pun.
“Tia.. Ini aku bawain bunga buat kamu. Bangun Ti.. Bangun..” Ucapku terbata-bata seperti tak kuat menahan tangis.
Lalu aku letakkan setangkai bunga itu di sampingnya, aku berharap ia tersenyum setelah ia bangun nanti.
Seluruh tubuhnya berkeringat, aku mengusap keningnya. Telapak tangannya mulai dingin, berbeda dengan suhu tubuh lainnya. Aku menggenggam tangan kanannya, aku merasakan ia juga ingin menggenggam tanganku dengan kondisi seperti ini. Sedikit demi sedikit air mataku membasahi genggaman tanganku dengan Tia. Rasanya aku tak ingin melepasnya samapai Tia pulih kembali. Tak lama kemudian salah seorang Dokter menyuruhku untuk menunggu di luar ruangan.
Aku duduk dengan perasaan tak nyaman. Lantunan doa kepada Sang Pencipta tak henti-hentinya keluar dari dalam mulutku. Resah rasanya.
Jam sudah menunjukkan pukul 5 sore, aku jadi teringat saat pertama kalinya aku makan siang bersamanya. Kala itu hanya ada aku dan dia. Air mata tak berhenti mengalir. Aku kembali menguatkan doaku. Aku terus meminta kepadaNya untuk kesembuhan Tia.
Menunggu dan menunggu. Lalu salah seorang Dokter keluar, aku bergegas menghampirinya.
“Dok, Tia baik-baik aja kan?” Tanyaku.
“Maaf, kami sudah berusaha semampu kami.” Jawabnya dengan nada suara pelan.
Mendengar perkataan seperti itu, aku hanya bisa berkata “Kenapa harus seperti ini? Bagaimana dengan puncak Menara Eiffel yang sudah menunggu kita” Aku hanya bisa menunduk dengan sabar. Air mata muali mengalir membasahi sekantung makanan-makan kesukaan Tia. Andai saja tadi aku tetap bersamanya, setidaknya aku punya waktu lebih banyak. Aku tak mengeti harus berbuat apa lagi. Semua yang telah dijanjikan antara aku dan Tia pada hari ini musnah dengan seketika.
Janjiku untuk Negeri
3 Agustus 2008, genap satu bulan setelah aku kehilangan seseorang yang selalu mendukungku selama ini. Andai saja Tia masih di sini, pasti hari ini akan menjadi hari yang tak akan pernah aku lupakan. Yaitu resepsi pernikahan. Memang sedih sekali.
Sehari setelah itu, kabar baik yang sudah lama aku tunggu akhirnya datang. Aku dinyatakan lulus dalam seleksi mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi S2 ke Prancis.
Dan tepat pada tanggal 13 September 2013, aku melangkahkan kakiku menaiki pesawat Garuda Indonesia yang akan membawaku ke Prancis. Sungguh tidak terbayang. “Tia, andaikan kau ada disini. Tinggal beberapa langkah lagi kita akan menggapai cita-cita kita.” Ucapku dalam hati ketika memasuki badan pesawat.
Memang aku sudah melupakan sedikit demi sedikit kejadian yang menyedihkan itu. Tapi aku tak akan pernah melupakan seberapa besar pengaruh dukungan yang ia berikan kepadaku.
Lalu aku duduk, dan memulai memfokuskan tujuanku yang sebenarnya.
“Maafkan aku Tanah Airku, aku ingin belajar di Negeri orang agar bangsa ini menjdai lebih baik.
Maafkan aku Tanah Airku, bukan maksudku merendahkanmu atau tak percaya kepadamu.
Akan tetapi aku hanya ingin bangsa ini tidak diinjak-injak lagi oleh bangsa lain.
Wahai Tanah Airku, aku berjanji setelah pulang nanti aku akan merubah Negeri ini menjadi jauh lebih baik.”
Blog: alfhatinpratama.blogspot.com
Nama: Alfhatin Pratama
twitter: @tinfhatin
fb: Alfhatin Pratama
blog: alfhatinpratama.blogspot.com

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lengkap Tentang Museum Mpu Tantular

Cerpen Sihir

Cerpen Pendidikan - TUHAN JADIKAN AKU JENIUS